Laman

Sabtu, 13 Agustus 2022

Pembelajaran, Cerita Pendek, dan Filsafat Ilmu

 A.    Latar Belakang Masalah

Cerita pendek pada dasarnya adalah hasil dari perjalanan batin seorang pengarang yang dituangkannya ke dalam bentuk karya. Cerita pendek yang dimaksud adalah salah satu jenis dari prosa, salah satu genre sastra. Perjalanan batin tersebut diterima pengarang melalui indera perasa, baik melalui pendengaran, penglihatan bahkan perasaannya ketika mengalami sebuah kejadian. Setelah diterima, perjalanan batin itu langsung diolah di dalam otak pengarang, diproses dan disaring dengan perasaan lalu jadilah sebuah karya setelah ditulis menjadi sebuah karya yang utuh. Berdasarkan uraian tersebut, di dalam cerita pendek pasti terkandung nilai-nilai yang dapat dijadikan cerminan, barometer bahkan filtrasi manusia dalam menjalani kehidupan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan telah merumuskan sebuah tujuan pembelajaran sastra atau cerita pendek di sekolah, khususnya Sekolah Menengah Atas. Tujuan tersebut adalah, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk memperhalus budi pekerti siswa melalui nilai-nilai dan pesan moral yang diambil dari karya sastra.
Menurut Moody (Nurgiyantoro, 2001: 340) ada empat tahap dalam mengapresiasi sastra atau cerita pendek, yakni: (1) Tahap informasi atau tekstual adalah pengapresiasian melalui struktur karya sastra yang didapatkan dari karya itu sendiri, dengan sebelumnya melalui proses membaca; (2) Tahap konseptual berkaitan dengan persepsi tentang bagaimana data-data atau unsur-unsur cerita pendek itu diorganisasikan; (3) Tahap perspektif berkaitan dengan pandangan siswa sehubungan dengan cerita pendek yang dibacanya. Bagaimana pandangan dan reaksi siswa terhadap cerita pendek yang akan ditentukan oleh kemampuannya memahami karya yang bersangkutan; dan (4) Tahap apresiasi adalah tahap yang berkaitan dengan mengkritisi permasalahan bahasa sastra yang digunakan dalam suatu karya sastra atau cerita pendek. Bahasa sastra tersebut dipandang melalui konteks kesastraan, yaitu suatu hal yang amat diutamakan dalam pendekatan reseptif kesastraan.
Secara garis besar tahapan atau tingkatan dalam sebuah apresiasi karyav sastra dibagi menjadi empat tahap kegiatan, yakni;
1.         Kegiatan LangsungDalam kegiatan apresiasi karya sastra secara langsung kita akan berhadapan secara langsung dengan hasil karya sastra. Kita langsung membaca novel misalnya, menonton sebuah pertunjukan teater, atau kita langsung mendengarkan puisi yang dideklamasikan. Atau dengan kata lain, kegiatan secara langsung ini dapat dilakukan melalui teks sastra dan juga melalui performansi (penampilan).
2.         Kegiatan Tak LangsungDalam kegiatan ini kita memang tidak secara langsung berhadapan dengan hasil karya sastra, tetapi kita berhadapan dengan “sesuatu” yang ada di luar karya sastra, semacam studi tentang karya sastra.
3.         Kegiatan KreatifDalam kegiatan kreatif ini seseorang akan belajar bagaimana menciptakan karya sastra baru yang lahir dari proses apresiasi karya sastra itu sendiri. Dari hasil apresiasi tersebut maka lahirlah sebuah produk karya sastra baru karya  sendiri baik dalam bentuk puisi, cerpen, ataupun naskah drama yang pendek.
4.         Kegiatan DokumentatifDalam kegiatan dokumentatif seseorang akan berusaha mengumpulkan dan menyusun majalah dan buku sastra, guntingan-guntingan koran yang berisi kritik atau esai tentang masalah budaya dan sastra.
Berdasarkan uraian di atas, penulis beranggapan bahwasanya pembelajaran sastra merupakan salah satu ranah pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang dapat digunakan untuk membentuk karakter bangsa yang relevan dengan kebutuhan bangsa Indonesia kali ini, guna membangun kembali bangsa ini. Artinya pembelajaran sastra perlu sekali dipelajari oleh guru bahasa Indonesia dari sudut pandang filsafat ilmu agar guru bahasa Indonesia tersebut mampu memahami hakikat ilmu pembelajaran sastra Indonesia secara mendalam. Oleh karena itu penulis menulis makalah dengan judul “Pembelajaran Cerita Pendek dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu.”

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan sebuah latar belakang masalah, “Bagaimanakah ilmu pembelajaran cerita pendekdipandang dari sudut pandang filsafat ilmu?”


C.    Tujuan Makalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka penulis merumuskan sebuah tujuan penulisan makalah, “Untuk mengetahui ilmu pembelajaran cerita pendek dalam sudut pandang filsafat ilmu?”

D.    Kegunaan Makalah
1.      Secara teoretis
a.       sebagai dasar pemikiran dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan.
b.      sebagai acuan dalam memahami konsep filsafat ilmu dalam ilmu pembelajaran cerita pendek.
2.      Secara praktis
a.  dapat mengidentifikasi konsep filsafat ilmu dalam ilmu pembelajaran cerita pendeksebagai salah satu 
    sudut pandang dalam mengungkap kebenaran ilmu pembelajaran sastra Indonesia; dan
      b. memberikan masukan kepada rekan-rekan sejawat terhadap pemahaman terhadap ilmu pembelajaran               
          cerita pendekdalam sudut pandang filsafat ilmu.
E. Pembahasan

1.    Hakikat Pembelajaran Cerita Pendek
Kata prosa diambil dari bahasa Inggris, prose. Kata ini sebenarnya menyaran pada pengertian yang lebih luas, tidak hanya mencakup pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra, tapi juga karya nonfiksi, seperti artikel, esai, dan sebagainya.Agar tidak terjadi kekeliruan tentang pengertian prosa, pada tulisan  ini hanya dibahas prosa sebagai genre sastra. Dalam pengertian kesastraan, prosa sering diistilahkan dengan fiksi (fiction), teks naratif (narrative text), atau wacana naratif (narrative discourse).Prosa yang sejajar dengan istilah fiksi (arti rekaan) dapat diartikan : karya naratif yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, tidak sungguh-sungguh terjadi di dunia nyata. Tokoh, peristiwa, dan latar dalam fiksi bersifat imajiner. Hal ini berbeda dengan karya nonfiksi. Dalam nonfiksi tokoh, peristiwa, dan latar bersifat faktual atau dapat dibuktikan di dunia nyata (secara empiris).
Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), baik di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, maupun di SMK pembelajaran sastra terintegrasi dalam standar kompetensi keterampilan berbahasa yang meliputi aspek menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Aspek-aspek keterampilan berbahasa selalu digunalkan secara terpadu, tidak pernah digunakan secara terpisah aspek demi aspek. Berikut ini dijelaskan beberapa contoh pembelajaran terpadu.
a.      Menyimak dan Berbicara
Guru mengungkapkan sebuah cerita, siswa menyimak cerita tersebut. Setelah selesai, siswa diberi waktu sejenak, kemudian guru meminta salah seorang siswa menceritakan kembali isi cerita itu dengan bahasa (kalimat-kalimat) siswa sendiri secara ringkas. Contoh lain, Guru mempersiapkan tiga orang siswa untuk bercerita, dengan rambu-rambu yang diberikan guru. Pada jam tertentu siswa tersebut bercerita di depan kelas, siswa yang lain menyimak. Setelah selesai, siswa diberi waktu untuk berpikir, kemudian salah seorang atau dua tiga orang siswa diminta mengemukakan isi atau kesimpulan cerita tersebut secara bergilir, atau dapat juga siswa diminta memberikan pendapatnya/tanggapannya tentang isi cerita tersebut.Dalam kegitan ini yang sangat dipentingkan adalah kemampuan siswa memahami apa yang mereka simak itu dan kemampuan mengemukakan pikiran melalui berbicara.
b.      Menyimak dan Menulis
Guru membacakan atau memperdengarkan sebuah cerpen. Siswa menyimak beberapa kali cerpen yang diperdengarkan itu, bergantung pada tingkat kesukaran cerpen tersebut. Setelah selesai siswa diberi waktu untuk menanyakan hal-hal yang kurang dipahami. Sesudah itu mereka diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan guru tentang cerpen itu, atau siswa diminta menuliskan isi cerpen secara ringkas dengan kalimat mereka sendiri.
c.      Membaca dan Menyimak
Siswa diberi tugas membacakan sebuah cerita pendek. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan membaca orang lain harus dipahami oleh siswa. Siswa yang lain menyimak. Setelah itu siswa diberi waktu untuk berpikir dan kemudian diminta untuk menceritakan isi yang disimak secara lisan atau mungkin tertulis. Agar yang mendapat giliran membaca tidak sedikit, sebaiknya naskah cerpen yang dibaca jangan yang terlalu panjang.
d.      Membaca dan Menulis
Guru memberi tugas kepada siswa untuk membaca sebuah cerita atau tulisan-tulisan lain diluar kelas dan meminta kepada mereka untuk menuliskan tugas-tugas yang diberikan guru pada saat mereka selesai membaca cerita tersebut. Setelah itu guru dapat meminta kepada siswa untuk mengumpulkan hasil pekerjaan mereka, atau dapat juga sebelum mereka mengumpulkan hasil pekerjaan mereka beberapa siswa diberi giliran untuk membacakan atau mengemukakan hasil pekerjaan masing-masing.
e.      Menulis dan Bercerita
Guru memberi tugas kepada siswa untuk menulis karangan narasi berbentuk misalnya cerita pendek diluar kelas. Pada jam yang telah ditentukan siswa diberi kesempatan untuk menceritakan isi karangannya sebelum karangan itu dikumpulkan.
2.     Kajian Ontologis Ilmu Pembelajaran Cerita Pendek
Ontologi merupakan cabang dari metafisika yang membicarakan eksistensi dan ragam-ragam dari suatu kenyataan. Ada beberapa tafsiran tentang kenyataan diantaranya adalah supernaturalisme dan naturalisme. Menurut supernaturalisme, bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib (supernatural) dan wujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibanding wujud alam yang nyata. Animisme, pandangan yang menyatakan bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib, yang terdapat dalam benda-benda tertentu, seperti batu, gua, keris, dst., merupakan kepercayaan yang didasarkan supernaturalisme.
Ada pandangan yang bertolak belakang dengan supernaturalisme. Pandangan ini dikenal dengan naturalisme. Materialisme, merupakan paham yang berdasarkan naturalisme, mengganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan gaib tetapi oleh kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Tokoh yang dipandang sebagai pioner materialisme adalah Democritos (460-370 SM).
Berbeda dari sudut pandang metafisika,Ontologi (hakikat apa yang dikaji) membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara kritis. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalsime dan empirisme. Secara ontologis, objek dibahas dari keberadaannya, apakah ia materi atau bukan, guna membentuk konsep tentang alam nyata (universal ataupun spesifik). Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai­mana (yang) “Ada”. Persoalan yang didalami oleh ontologi ilmu misalnya apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai benda yang akhimya akan menentukan pendapat bahkan ke­yakinannya mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya.
Pembelajaran cerita pendek jika dikaji dari sudut pandang ontologis metafisikaakan berkaitan dengan objek cerita pendek itu sendiri. Banyak cerita pendek yang memang berangkat dari cerita-cerita bersifat non-logika yang lebih mementingkan aspek misteri dan imajinatif abusrd sebagai benang merah cerita. Selain itu pembelajaran cerita pendek dari sudut pandang ontologi di luar metafisika, akan berkaitan dengan beberapa pertanyaan seperti; apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? Sejalan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, maka kajian pembelajaran cerita pendek akan berkutat pada beberapa pertanyaan tersebut.
Apakah objek yang ditelaah ilmupembelajaran cerita pendek?Jawabannya ialah pembelajaran dan cerita pendek. Ilmu pembelajaran akan membahas tentang hakikat pembelajaran itu dilaksanakan. Pada dasarnya pembelajaran dilaksanakan untuk membentuk peserta didik yang mampu memahami perihal materi pembelajaran itu sendiri.Ilmu cerita pendek membahas tentang hakikat cerita pendek itu sendiri.Meliputi pengertian cerita pendek, jenis cerita pendek, dan unsur-unsur yang terdapat dalam cerita pendek itu sendiri.
Bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Jawabannya ialah wujud pembelajaran itu sendiri adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan di dalam kelas yang dilakukan guru dan diikuti para peserta didik. Selain itu ada fasilitas dan media yang digunakan pengajar dalam melaksanakan pembelajaran di dalam kelas.
Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan?Hubungan antara ilmu pembelajaran cerita pendek dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan ialah ilmu pembelajaran cerita pendek mengandung banyak hal yang diperlukan para guru bahasa dan sastra Indonesia untuk membantunya dalam melaksanakan pembelajaran cerita pendek di dalam kelas.Dengan adanya content tersebut maka para guru bahasa dan sastra Indonesia akan dapat melakasanakan pembelajaran cerita pendek dengan baik di dalam kelas. Biasanya content itu terdiri dari bagaimana cara mengajarkan cerita pendek dengan disesuaikan dengan tujuan pembelajaran cerita pendek dan media yang relevan dengan hal-hal tersebut.
3.    Kajian Epistemologis Ilmu Pembelajaran Cerita Pendek
Epistemologi (filsafat ilmu) Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal model‑model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis, positivisme, feno­menologi dan sebagainya. Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik be­serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori ko­herensi, korespondesi pragmatis, dan teori intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan dipercaya. Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau juga naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-ubah dan berkembang.
Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia.
Namun, epistemologi (teori pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi.Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.
Berdasarkan uraian di atas, maka pembelajaran cerita pendek yang dikaji dari sudut pandang epistemologi akan berkutat atau berkaitan dengan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Pembelajaran cerita pendek lahir atas dasar keperluan para pengajar cerita pendek untuk menguasai ilmu pembelajaran cerita pendek yang akan digunakan dalam mengajarkan cerita pendek di dalam kelas. Sumber pengetahuan ilmu pembelajaran cerita pendek adalah ilmu pembelajaran itu sendiri dan ilmu perihal cerita pendek itu sendiri.Asal mula pengetahuan mengenai pembelajaran cerita pendek dimulai pada saat pendidikan dan pengajaran itu penting dilaksanakan guna mempercerdas umat manusia dan cerita pendek hadir sebagai salah satu materi yang dianggap perlu untuk diajarkan.Sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan seputar pembelajaran cerita pendek dapat dilakukan dengan jalan literatur dan praktik atau berlatih mengajar. Validitas dan kebenaran pengetahuan pembelajaran cerita pendek dapat diuji dengan jalan melalui sebuah penelitian yang bersifat kualitatif.Artinya ada pembahasan fenomena yang berkaitan dengan pembelajaran cerita pendek secara mendalam atau heuristik.
4.    Kajian Aksiologis Ilmu Pembelajaran Cerita Pendek
Rasa keingintahuan manusia ternyata menjadi titik-titik perjalanan manusia yang takkan pernah usai. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam penelitian dan hipotesa awal manusia terhadap inti dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat adalah titik awal sejarah perkembangan pemikiran manusia dimana manusia berusaha untuk mengorek, merinci dan melakukan pembuktian-pembuktian yang tak lepas dari kungkungan.
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Satu contoh ketika Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Menurut Ahmad Tafsir, teori mempunyai tiga fungsi dilihat dari kegunaan teori tersebut dalam menyelesaikan masalah. Pertama, Teori sebagai alat Eksplanasi. Dalam fungsi ini teori berusaha menjelaskan melalui gejala-gejala yang timbul dalam satu permasalahan. Misalnya: tragedi 11 september yang memakan banyak korban dan kerugian secara materiil. Hal ini dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap keangkuhan sebuah negara Adi Kuasa. Gejalanya dapat kita lihat dari maraknya beberapa kelompok yang menamakan dirinya sebagai kelompok anti Amerika. Al-Qaeda misalnya, sebuah oraganisasi rahasia yang menjadi symbol perlawanan terhadap Amerika. Kedua, Teori sebagai alat Peramal. Dalam fungsi ini teori memberikan benuk prediksi-prediksi yang dilakukan oleh para ilmuwan dalan menyelesaikan suatu masalah. Misalnya: isu global warming. Digambarkan dalam kasus ini bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata disatu sisi memberikan dampak buruk terhadap ekosistem alam. Prediksi yang dilakukan oleh para ilmuwan yang menggambakan tentang keseimbangan alam yang rusak oleh perilaku manusia itu sendiri. Ketiga, Teori sebagai Alat pengontrol. Dalam fungsi ini ilmuwan selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala, juga dapat membuat kontrol terhadap masalah yang terjadi. Kita bisa melihat dari solusi yang ditawarkan oleh para ilmuwan.
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan produk penelitian.Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai. Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia. Meminjam istilah carl Gustav Jung “bukan lagi Goethe yang melahirkan Faust melainkan Faust-lah yang melahirkan Goethe”.
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia.
Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.Dalam perkembangan sejarar etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuandan tujuan manusia adalah kebahagiaan.Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika dibahas dalam sesi lain. yang jelas, estetika membicarakan tentang indah dan tidak indah.
Dari sudut pandang teori, pembelajaran cerita pendek dapat dikaji dari tiga fungsi, yakni; (1) Teori sebagai alat Eksplanasi; (2) Teori sebagai alat Peramal; (3) Teori sebagai Alat pengontrol. Fungsi pertama, teori pembelajaran cerita pendek sebagai alat eksplanasi.Pembelajaran cerita pendek dilakukan sebagai bentuk pembudidayaan dan penghargaan manusia terhadap manusia lainnya sebagai penulis sastra. Dilihat dari wujud dan tujuannya cerita pendek dilemparkan ke tengah-tengah masyarakat sebagai cerminan dan barometer masyarakat atas apa yang telah, tengah dan akan terjadi. Jadi, masyarakat dapat memerbaiki karakternya sesuai dengan cerminan dan barometer tersebut.
Fungsi kedua, teori pembelajaran cerita pendek sebagai alat peramal. Pembelajaran cerita pendek dengan segala tujuannya yang hakiki dan kultus (demi memerbaiki moral dan karakter manusia) akan mampu menjadi tonggak harapan demi mewujudkan moral dan karakter bangsa yang luhur, jika proses pembelajarannya itu mampu dilaksanakan dengan baik dan benar. Biasanya kualitas pembelajaran cerita pendek itu dapat dilihat dari indikator perencanaannya, pelaksanaannya dan evaluasinya.
Fungsi yang ketiga, teori pembelajaran cerita pendek sebagai pengontrol. Dalam hal ini ilmu atau teori pembelajaran cerita pendek dapat digunakan sebagai indicator pelaksanaan pembelajaran cerita pendek yang akan dilaksanakan di dalam kelas oleh seorang pengajar bahasa dan sastra Indonesia. Dengan adanya teori pembelajaran cerita pendek maka proses pembelajaran yang telah atau akan direncanakan akan memilikin paradigma tersendiri sebagai tolok ukur pelaksanaannya maupun evaluasi pembelajaran cerita pendek tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar