Laman

Sabtu, 13 Agustus 2022

Pembelajaran, Cerita Pendek, dan Filsafat Ilmu

 A.    Latar Belakang Masalah

Cerita pendek pada dasarnya adalah hasil dari perjalanan batin seorang pengarang yang dituangkannya ke dalam bentuk karya. Cerita pendek yang dimaksud adalah salah satu jenis dari prosa, salah satu genre sastra. Perjalanan batin tersebut diterima pengarang melalui indera perasa, baik melalui pendengaran, penglihatan bahkan perasaannya ketika mengalami sebuah kejadian. Setelah diterima, perjalanan batin itu langsung diolah di dalam otak pengarang, diproses dan disaring dengan perasaan lalu jadilah sebuah karya setelah ditulis menjadi sebuah karya yang utuh. Berdasarkan uraian tersebut, di dalam cerita pendek pasti terkandung nilai-nilai yang dapat dijadikan cerminan, barometer bahkan filtrasi manusia dalam menjalani kehidupan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan telah merumuskan sebuah tujuan pembelajaran sastra atau cerita pendek di sekolah, khususnya Sekolah Menengah Atas. Tujuan tersebut adalah, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk memperhalus budi pekerti siswa melalui nilai-nilai dan pesan moral yang diambil dari karya sastra.
Menurut Moody (Nurgiyantoro, 2001: 340) ada empat tahap dalam mengapresiasi sastra atau cerita pendek, yakni: (1) Tahap informasi atau tekstual adalah pengapresiasian melalui struktur karya sastra yang didapatkan dari karya itu sendiri, dengan sebelumnya melalui proses membaca; (2) Tahap konseptual berkaitan dengan persepsi tentang bagaimana data-data atau unsur-unsur cerita pendek itu diorganisasikan; (3) Tahap perspektif berkaitan dengan pandangan siswa sehubungan dengan cerita pendek yang dibacanya. Bagaimana pandangan dan reaksi siswa terhadap cerita pendek yang akan ditentukan oleh kemampuannya memahami karya yang bersangkutan; dan (4) Tahap apresiasi adalah tahap yang berkaitan dengan mengkritisi permasalahan bahasa sastra yang digunakan dalam suatu karya sastra atau cerita pendek. Bahasa sastra tersebut dipandang melalui konteks kesastraan, yaitu suatu hal yang amat diutamakan dalam pendekatan reseptif kesastraan.
Secara garis besar tahapan atau tingkatan dalam sebuah apresiasi karyav sastra dibagi menjadi empat tahap kegiatan, yakni;
1.         Kegiatan LangsungDalam kegiatan apresiasi karya sastra secara langsung kita akan berhadapan secara langsung dengan hasil karya sastra. Kita langsung membaca novel misalnya, menonton sebuah pertunjukan teater, atau kita langsung mendengarkan puisi yang dideklamasikan. Atau dengan kata lain, kegiatan secara langsung ini dapat dilakukan melalui teks sastra dan juga melalui performansi (penampilan).
2.         Kegiatan Tak LangsungDalam kegiatan ini kita memang tidak secara langsung berhadapan dengan hasil karya sastra, tetapi kita berhadapan dengan “sesuatu” yang ada di luar karya sastra, semacam studi tentang karya sastra.
3.         Kegiatan KreatifDalam kegiatan kreatif ini seseorang akan belajar bagaimana menciptakan karya sastra baru yang lahir dari proses apresiasi karya sastra itu sendiri. Dari hasil apresiasi tersebut maka lahirlah sebuah produk karya sastra baru karya  sendiri baik dalam bentuk puisi, cerpen, ataupun naskah drama yang pendek.
4.         Kegiatan DokumentatifDalam kegiatan dokumentatif seseorang akan berusaha mengumpulkan dan menyusun majalah dan buku sastra, guntingan-guntingan koran yang berisi kritik atau esai tentang masalah budaya dan sastra.
Berdasarkan uraian di atas, penulis beranggapan bahwasanya pembelajaran sastra merupakan salah satu ranah pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang dapat digunakan untuk membentuk karakter bangsa yang relevan dengan kebutuhan bangsa Indonesia kali ini, guna membangun kembali bangsa ini. Artinya pembelajaran sastra perlu sekali dipelajari oleh guru bahasa Indonesia dari sudut pandang filsafat ilmu agar guru bahasa Indonesia tersebut mampu memahami hakikat ilmu pembelajaran sastra Indonesia secara mendalam. Oleh karena itu penulis menulis makalah dengan judul “Pembelajaran Cerita Pendek dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu.”

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan sebuah latar belakang masalah, “Bagaimanakah ilmu pembelajaran cerita pendekdipandang dari sudut pandang filsafat ilmu?”


C.    Tujuan Makalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka penulis merumuskan sebuah tujuan penulisan makalah, “Untuk mengetahui ilmu pembelajaran cerita pendek dalam sudut pandang filsafat ilmu?”

D.    Kegunaan Makalah
1.      Secara teoretis
a.       sebagai dasar pemikiran dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan.
b.      sebagai acuan dalam memahami konsep filsafat ilmu dalam ilmu pembelajaran cerita pendek.
2.      Secara praktis
a.  dapat mengidentifikasi konsep filsafat ilmu dalam ilmu pembelajaran cerita pendeksebagai salah satu 
    sudut pandang dalam mengungkap kebenaran ilmu pembelajaran sastra Indonesia; dan
      b. memberikan masukan kepada rekan-rekan sejawat terhadap pemahaman terhadap ilmu pembelajaran               
          cerita pendekdalam sudut pandang filsafat ilmu.
E. Pembahasan

1.    Hakikat Pembelajaran Cerita Pendek
Kata prosa diambil dari bahasa Inggris, prose. Kata ini sebenarnya menyaran pada pengertian yang lebih luas, tidak hanya mencakup pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra, tapi juga karya nonfiksi, seperti artikel, esai, dan sebagainya.Agar tidak terjadi kekeliruan tentang pengertian prosa, pada tulisan  ini hanya dibahas prosa sebagai genre sastra. Dalam pengertian kesastraan, prosa sering diistilahkan dengan fiksi (fiction), teks naratif (narrative text), atau wacana naratif (narrative discourse).Prosa yang sejajar dengan istilah fiksi (arti rekaan) dapat diartikan : karya naratif yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, tidak sungguh-sungguh terjadi di dunia nyata. Tokoh, peristiwa, dan latar dalam fiksi bersifat imajiner. Hal ini berbeda dengan karya nonfiksi. Dalam nonfiksi tokoh, peristiwa, dan latar bersifat faktual atau dapat dibuktikan di dunia nyata (secara empiris).
Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), baik di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, maupun di SMK pembelajaran sastra terintegrasi dalam standar kompetensi keterampilan berbahasa yang meliputi aspek menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Aspek-aspek keterampilan berbahasa selalu digunalkan secara terpadu, tidak pernah digunakan secara terpisah aspek demi aspek. Berikut ini dijelaskan beberapa contoh pembelajaran terpadu.
a.      Menyimak dan Berbicara
Guru mengungkapkan sebuah cerita, siswa menyimak cerita tersebut. Setelah selesai, siswa diberi waktu sejenak, kemudian guru meminta salah seorang siswa menceritakan kembali isi cerita itu dengan bahasa (kalimat-kalimat) siswa sendiri secara ringkas. Contoh lain, Guru mempersiapkan tiga orang siswa untuk bercerita, dengan rambu-rambu yang diberikan guru. Pada jam tertentu siswa tersebut bercerita di depan kelas, siswa yang lain menyimak. Setelah selesai, siswa diberi waktu untuk berpikir, kemudian salah seorang atau dua tiga orang siswa diminta mengemukakan isi atau kesimpulan cerita tersebut secara bergilir, atau dapat juga siswa diminta memberikan pendapatnya/tanggapannya tentang isi cerita tersebut.Dalam kegitan ini yang sangat dipentingkan adalah kemampuan siswa memahami apa yang mereka simak itu dan kemampuan mengemukakan pikiran melalui berbicara.
b.      Menyimak dan Menulis
Guru membacakan atau memperdengarkan sebuah cerpen. Siswa menyimak beberapa kali cerpen yang diperdengarkan itu, bergantung pada tingkat kesukaran cerpen tersebut. Setelah selesai siswa diberi waktu untuk menanyakan hal-hal yang kurang dipahami. Sesudah itu mereka diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan guru tentang cerpen itu, atau siswa diminta menuliskan isi cerpen secara ringkas dengan kalimat mereka sendiri.
c.      Membaca dan Menyimak
Siswa diberi tugas membacakan sebuah cerita pendek. Dalam hal ini ketentuan-ketentuan membaca orang lain harus dipahami oleh siswa. Siswa yang lain menyimak. Setelah itu siswa diberi waktu untuk berpikir dan kemudian diminta untuk menceritakan isi yang disimak secara lisan atau mungkin tertulis. Agar yang mendapat giliran membaca tidak sedikit, sebaiknya naskah cerpen yang dibaca jangan yang terlalu panjang.
d.      Membaca dan Menulis
Guru memberi tugas kepada siswa untuk membaca sebuah cerita atau tulisan-tulisan lain diluar kelas dan meminta kepada mereka untuk menuliskan tugas-tugas yang diberikan guru pada saat mereka selesai membaca cerita tersebut. Setelah itu guru dapat meminta kepada siswa untuk mengumpulkan hasil pekerjaan mereka, atau dapat juga sebelum mereka mengumpulkan hasil pekerjaan mereka beberapa siswa diberi giliran untuk membacakan atau mengemukakan hasil pekerjaan masing-masing.
e.      Menulis dan Bercerita
Guru memberi tugas kepada siswa untuk menulis karangan narasi berbentuk misalnya cerita pendek diluar kelas. Pada jam yang telah ditentukan siswa diberi kesempatan untuk menceritakan isi karangannya sebelum karangan itu dikumpulkan.
2.     Kajian Ontologis Ilmu Pembelajaran Cerita Pendek
Ontologi merupakan cabang dari metafisika yang membicarakan eksistensi dan ragam-ragam dari suatu kenyataan. Ada beberapa tafsiran tentang kenyataan diantaranya adalah supernaturalisme dan naturalisme. Menurut supernaturalisme, bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib (supernatural) dan wujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibanding wujud alam yang nyata. Animisme, pandangan yang menyatakan bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib, yang terdapat dalam benda-benda tertentu, seperti batu, gua, keris, dst., merupakan kepercayaan yang didasarkan supernaturalisme.
Ada pandangan yang bertolak belakang dengan supernaturalisme. Pandangan ini dikenal dengan naturalisme. Materialisme, merupakan paham yang berdasarkan naturalisme, mengganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan gaib tetapi oleh kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Tokoh yang dipandang sebagai pioner materialisme adalah Democritos (460-370 SM).
Berbeda dari sudut pandang metafisika,Ontologi (hakikat apa yang dikaji) membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara kritis. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalsime dan empirisme. Secara ontologis, objek dibahas dari keberadaannya, apakah ia materi atau bukan, guna membentuk konsep tentang alam nyata (universal ataupun spesifik). Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai­mana (yang) “Ada”. Persoalan yang didalami oleh ontologi ilmu misalnya apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai benda yang akhimya akan menentukan pendapat bahkan ke­yakinannya mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya.
Pembelajaran cerita pendek jika dikaji dari sudut pandang ontologis metafisikaakan berkaitan dengan objek cerita pendek itu sendiri. Banyak cerita pendek yang memang berangkat dari cerita-cerita bersifat non-logika yang lebih mementingkan aspek misteri dan imajinatif abusrd sebagai benang merah cerita. Selain itu pembelajaran cerita pendek dari sudut pandang ontologi di luar metafisika, akan berkaitan dengan beberapa pertanyaan seperti; apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? Sejalan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, maka kajian pembelajaran cerita pendek akan berkutat pada beberapa pertanyaan tersebut.
Apakah objek yang ditelaah ilmupembelajaran cerita pendek?Jawabannya ialah pembelajaran dan cerita pendek. Ilmu pembelajaran akan membahas tentang hakikat pembelajaran itu dilaksanakan. Pada dasarnya pembelajaran dilaksanakan untuk membentuk peserta didik yang mampu memahami perihal materi pembelajaran itu sendiri.Ilmu cerita pendek membahas tentang hakikat cerita pendek itu sendiri.Meliputi pengertian cerita pendek, jenis cerita pendek, dan unsur-unsur yang terdapat dalam cerita pendek itu sendiri.
Bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Jawabannya ialah wujud pembelajaran itu sendiri adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan di dalam kelas yang dilakukan guru dan diikuti para peserta didik. Selain itu ada fasilitas dan media yang digunakan pengajar dalam melaksanakan pembelajaran di dalam kelas.
Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan?Hubungan antara ilmu pembelajaran cerita pendek dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan ialah ilmu pembelajaran cerita pendek mengandung banyak hal yang diperlukan para guru bahasa dan sastra Indonesia untuk membantunya dalam melaksanakan pembelajaran cerita pendek di dalam kelas.Dengan adanya content tersebut maka para guru bahasa dan sastra Indonesia akan dapat melakasanakan pembelajaran cerita pendek dengan baik di dalam kelas. Biasanya content itu terdiri dari bagaimana cara mengajarkan cerita pendek dengan disesuaikan dengan tujuan pembelajaran cerita pendek dan media yang relevan dengan hal-hal tersebut.
3.    Kajian Epistemologis Ilmu Pembelajaran Cerita Pendek
Epistemologi (filsafat ilmu) Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal model‑model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis, positivisme, feno­menologi dan sebagainya. Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik be­serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori ko­herensi, korespondesi pragmatis, dan teori intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan dipercaya. Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau juga naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-ubah dan berkembang.
Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia.
Namun, epistemologi (teori pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi.Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.
Berdasarkan uraian di atas, maka pembelajaran cerita pendek yang dikaji dari sudut pandang epistemologi akan berkutat atau berkaitan dengan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Pembelajaran cerita pendek lahir atas dasar keperluan para pengajar cerita pendek untuk menguasai ilmu pembelajaran cerita pendek yang akan digunakan dalam mengajarkan cerita pendek di dalam kelas. Sumber pengetahuan ilmu pembelajaran cerita pendek adalah ilmu pembelajaran itu sendiri dan ilmu perihal cerita pendek itu sendiri.Asal mula pengetahuan mengenai pembelajaran cerita pendek dimulai pada saat pendidikan dan pengajaran itu penting dilaksanakan guna mempercerdas umat manusia dan cerita pendek hadir sebagai salah satu materi yang dianggap perlu untuk diajarkan.Sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan seputar pembelajaran cerita pendek dapat dilakukan dengan jalan literatur dan praktik atau berlatih mengajar. Validitas dan kebenaran pengetahuan pembelajaran cerita pendek dapat diuji dengan jalan melalui sebuah penelitian yang bersifat kualitatif.Artinya ada pembahasan fenomena yang berkaitan dengan pembelajaran cerita pendek secara mendalam atau heuristik.
4.    Kajian Aksiologis Ilmu Pembelajaran Cerita Pendek
Rasa keingintahuan manusia ternyata menjadi titik-titik perjalanan manusia yang takkan pernah usai. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam penelitian dan hipotesa awal manusia terhadap inti dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat adalah titik awal sejarah perkembangan pemikiran manusia dimana manusia berusaha untuk mengorek, merinci dan melakukan pembuktian-pembuktian yang tak lepas dari kungkungan.
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Satu contoh ketika Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Menurut Ahmad Tafsir, teori mempunyai tiga fungsi dilihat dari kegunaan teori tersebut dalam menyelesaikan masalah. Pertama, Teori sebagai alat Eksplanasi. Dalam fungsi ini teori berusaha menjelaskan melalui gejala-gejala yang timbul dalam satu permasalahan. Misalnya: tragedi 11 september yang memakan banyak korban dan kerugian secara materiil. Hal ini dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap keangkuhan sebuah negara Adi Kuasa. Gejalanya dapat kita lihat dari maraknya beberapa kelompok yang menamakan dirinya sebagai kelompok anti Amerika. Al-Qaeda misalnya, sebuah oraganisasi rahasia yang menjadi symbol perlawanan terhadap Amerika. Kedua, Teori sebagai alat Peramal. Dalam fungsi ini teori memberikan benuk prediksi-prediksi yang dilakukan oleh para ilmuwan dalan menyelesaikan suatu masalah. Misalnya: isu global warming. Digambarkan dalam kasus ini bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata disatu sisi memberikan dampak buruk terhadap ekosistem alam. Prediksi yang dilakukan oleh para ilmuwan yang menggambakan tentang keseimbangan alam yang rusak oleh perilaku manusia itu sendiri. Ketiga, Teori sebagai Alat pengontrol. Dalam fungsi ini ilmuwan selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala, juga dapat membuat kontrol terhadap masalah yang terjadi. Kita bisa melihat dari solusi yang ditawarkan oleh para ilmuwan.
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan produk penelitian.Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai. Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia. Meminjam istilah carl Gustav Jung “bukan lagi Goethe yang melahirkan Faust melainkan Faust-lah yang melahirkan Goethe”.
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia.
Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.Dalam perkembangan sejarar etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuandan tujuan manusia adalah kebahagiaan.Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika dibahas dalam sesi lain. yang jelas, estetika membicarakan tentang indah dan tidak indah.
Dari sudut pandang teori, pembelajaran cerita pendek dapat dikaji dari tiga fungsi, yakni; (1) Teori sebagai alat Eksplanasi; (2) Teori sebagai alat Peramal; (3) Teori sebagai Alat pengontrol. Fungsi pertama, teori pembelajaran cerita pendek sebagai alat eksplanasi.Pembelajaran cerita pendek dilakukan sebagai bentuk pembudidayaan dan penghargaan manusia terhadap manusia lainnya sebagai penulis sastra. Dilihat dari wujud dan tujuannya cerita pendek dilemparkan ke tengah-tengah masyarakat sebagai cerminan dan barometer masyarakat atas apa yang telah, tengah dan akan terjadi. Jadi, masyarakat dapat memerbaiki karakternya sesuai dengan cerminan dan barometer tersebut.
Fungsi kedua, teori pembelajaran cerita pendek sebagai alat peramal. Pembelajaran cerita pendek dengan segala tujuannya yang hakiki dan kultus (demi memerbaiki moral dan karakter manusia) akan mampu menjadi tonggak harapan demi mewujudkan moral dan karakter bangsa yang luhur, jika proses pembelajarannya itu mampu dilaksanakan dengan baik dan benar. Biasanya kualitas pembelajaran cerita pendek itu dapat dilihat dari indikator perencanaannya, pelaksanaannya dan evaluasinya.
Fungsi yang ketiga, teori pembelajaran cerita pendek sebagai pengontrol. Dalam hal ini ilmu atau teori pembelajaran cerita pendek dapat digunakan sebagai indicator pelaksanaan pembelajaran cerita pendek yang akan dilaksanakan di dalam kelas oleh seorang pengajar bahasa dan sastra Indonesia. Dengan adanya teori pembelajaran cerita pendek maka proses pembelajaran yang telah atau akan direncanakan akan memilikin paradigma tersendiri sebagai tolok ukur pelaksanaannya maupun evaluasi pembelajaran cerita pendek tersebut. 

Sabtu, 15 Januari 2022

PELATIHAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS

Hasil Pengabdian Pada Masyarakat di MTs Cileungsir Ciamis 

A.     Analisis Situasi

Munculnya sebuah terobosan baru dalam dunia pendidikan dan pembelajaran berangkat dari asumsi bahwa pembelajaran yang dilakukan selama ini masih mengalami kegagalan. Mendefinisikan kegagalan dalam proses pembelajaran akan menjadi sangat kompleks karena hal ini dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Sundut pandang yang paling umum mendefinisikan kegagalan sebagai bentuk ketidakmampuan siswa menguasai materi pelajaran sehingga kemampuannya dinilai kurang memadai. Pandangan ini jelas beranggapan bahwa bentuk sebuah kegagalan adalah ketidakmampuan siswa mendapat nilai baik di sekolah.

Praktek pandangan tradisional ini masih sangat melekat dalam pemikiran masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan kecemasan yang timbul pada masyarakat ketika munculnya batas kelulusan ujian nasional. Nilai enam dianggap masih sulit dicapai sehingga masyarakat takut anaknya tidak lulus ujian. Kenyataan lain yang sering ditemui di masyarakat adalah bahwa orang tua akan memarahi anaknya bila mendapat nilai merah. Demikian pula guru akan memarahi siswanya yang memiliki nilai ulangan jelek. Kenyataan-kenyataan ini memperkuat bahwa kegagalan didefinisikan dengan ketidaktercapaian nilai bagus oleh siswa di sekolah. Pandangan tradisional ini memunculkan berbagai kasus di dunia pendidikan. Jual beli nilai, sogok menyogok, dan campur tangan penguasa sering kali kita jumpai dalam praktik pendidikan.

Pandangan kedua yang melihat kegagalan pendidikan adalah pandangan bahwa kegagalan pendidikan adalah ketidakmampuan siswa menerapkan materi yang diperoleh siswa di sekolah dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan ini tentu saja tidak hanya berorientasi pada nilai yang dicapai siswa melainkan kompetensi yang dimiliki siswa. Dewey sebenarnya telah dengan tegas menyatakan hal ini sejak tahun 1916. Dewey mengungkapkan kegagalan pendidikan adalah kegagalan atas penyatuan pengetahuan yang diperoleh siswa di sekolah dengan keterampilan atau kecakapan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal lain yang memprihatinkan atas kegagalan proses pembelajaran adalah munculnya pendapat bahwa kegagalan belajar yang dialami oleh para siswa di sekolah sering kali tidak dipahami guru sebagai kegagalannya dalam mengajar. Guru saat ini masih beranggapan bahwa bila siswa gagal hal ini disebabkan oleh faktor siswa terutama berkenaan dengan anggapan bahwa siswa tidak bisa dimotivasi untuk belajar dan tidak adanya kemampuan siswa dalam belajar. Kegagalan proses pembelajaran yang ditekankan pada faktor siswa seperti di atas sungguh memprihatinkan sebab sebenarnya guru juga turut ambil bagian dalam hal menciptakan kegagalan tersebut.

Sejalan dengan uraian di atas, guru dihadapkan pada berbagai situasi kompleks yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Misalnya, kekurangberhasilan para siswa untuk mencapai standar yang diharapkan. Lebarnya jarak antara harapan dan kenyataan ini, seringkali menimbulkan kekecewaan guru. Untuk mendekatkan jarak ini, sangatlah penting dicari alternatif penyelesaiannya yang salah satunya melalui pembudayaan penelitian di lingkungan sekolah yang melibatkan guru secara aktif. Melalui sebuah penelitian, guru tidak lagi dianggap hanya sebagai penerima pembaharuan, tetapi juga sebagai pelaku pembaharuan. Hal ini hanya mungkin diperoleh bila guru sendiri melakukan penelitian, sehingga istilah “teacher as researcher” terdengar akrab di telinga kita.

Pembudayaan penelitian guna meningkatkan mutu pendidikan di sekolah hendaknya mempertimbangkan pula jenis penelitian yang akan dibudayakan.  Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa;

1.     Penelitian-penelitian pendidikan yang telah dilaksanakan kurang banyak bermanfaat, karena bersifat abstrak, teoretik, dan kurang tampak kenyataannya di lapangan (sekolah).

2.     Walaupun sekolah dan kelas seringkali digunakan sebagai kancah penelitian, namun guru kurang dilibatkan secara aktif. Guru dan siswa hanya dijadikan objek penelitian.

3.     Pemecahan masalah seringkali menggunakan teori-teori dari Barat, yang seringkali tidak/kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia.

Sejalan dengan kenyataan di atas, Penelitian yang dilakukan oleh guru sebaiknya berupa tindakan perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran saat ini dan di kelasnya sendiri, “kini dan di sini”. Perbaikan dan peningkatan itu dapat terjadi secara terus menerus berkesinambungan karena tuntutan kebutuhan “dari dalam” diri guru itu sendiri, bukan karena diinstruksi dari luar. Sejalan dengan konsepsi tersebut, pendekatan penelitian yang harus dipilih guru adalah pendekatan penelitian berupa tindakan-tindakan nyata yang berbasis kelas seperti itu yang selanjutnya dinamakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action Research (CAR).

Sejalan dengan uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun proposal pengabdian pada masyarakat sekolah guna meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Karya ilmiah tersebut penulis beri judul “Pelatihan PTK secara Praktis Bagi Guru Se-Kecamatan Rancah Kabupaten Ciamis”.

B.      Perumusan Masalah

Berkaitan dengan materi pelatihan dan analisis situasi seperti yang dikemukakan di atas maka masalah yang perlu dirumuskan adalah “Perlu diadakan pelatihan PTK secara praktis bagi guru di Kecamatan Rancah.”

C.    Tujuan dan Manfaat Pengabdian

Tujuan dilaksanakannya pengabdian kepada masyarakat dengan Pelatihan PTK secara Praktis Bagi Guru di Kecamatan Rancah Kabupaten Ciamis ini adalah melatih guru dalam melaksanakan PTK.  Manfaat dari kegiatan ini adalah adanya pemahaman bersama bagi para pelaku pendidikan (guru) dalam melaksanakan PTK secara praktis dan mudah serta berimplikasi pada perbaikan hasil pembelajaran.

D.    Hasil Pelaksanaan Kegiatan

Kegiatan PPM yang dilaksanakan dengan acara tatap muka dan praktik pelatihan PTK berjalan dengan baik dan lancar. Pertemuan tatap muka dengan metode ceramah dan demonstrasi, dilanjutkan latihan/praktik untuk membuat dan merencanakan PTK, mulai dari penelusuran masalah pembelajaran, pengkajian dan perumusan solusi pemecahan masalah pembelajaran hingga ke pelaksanaan PTK secara praktis. Kegiatan ini dilaksanakan sehari yaitu pada hari Sabtu tanggal 5 September 2013 dari pukul 08.30 - 15.00 WIB. Peserta kegiatan berjumlah 45 orang guru-guru MTs di Rancah dari bidang mata pelajaran yang beragam.

Pelaksanaan kegiatan PPM ini dilakukan oleh 2 (dua) orang tim pengabdi dengan pokok bahasan yang disampaikan mengenai:

1.     pengantar penelitian tindakan kelas;

2.     pengantar pembelajaran;

3.     penelusuran permasalahan pembelajaran;

4.     pengkajian solusi penyelesaian atau pemecahan masalah pembelajaran; dan

5.     langkah-langkah penyusunan rencana PTK berbasis masalah pembelajaran yang telah ditemukan dan direlevansikan dengan solusi pemecahan permasalahan pembelajaran yang telah ditentukan.  

Keterbatasan waktu pertemuan mengakibatkan tidak semua materi dapat disampaikan dengan detil. Kegiatan yang diawali dengan ceramah dan demonstrasi ini kemudian dilanjutkan latihan. Dari kegiatan latihan tampak bahwa guru memang belum mengetahui definisi secara operasional terkait dengan permasalahan pembelajaran itu sendiri. Selain itu terindikasi juga bahwa guru kurang memahami perihal pernak-pernik pembelajaran yang terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga pada saat akan merumuskan PTK seakan-akan guru “mencari-cari” masalah, bukan menelusuri masalah yang sebenarnya sudah ada. Selain hal tersebut, terkait dengan pengkajian solusi pemecahan masalah pembelajaran guru juga terindikasi kurang banyak membaca buku yang terkait dengan strategi pembelajaran, terkait dengan model, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Hal ini sedikit menyulitkan tim pengabdi dalam merelevansikan permasalahan yang ditemukan guru di dalam kelas dengan rencana solusi yang akan digunakan. Pernasalahan-permasalahan tersebut selanjutnya dikaji dalama sesi tanya jawab.

Berbagai pertanyaan diajukan secara antusias oleh para peserta dalam sesi tanya jawab. Secara garis besar inti dari pertanyaan para peserta adalah:

1.     Syarat-syarat PTK yang diinginkan pemerintah dan teori secara umum.

2.     Langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan PTK secara baik.

3.     Operasionalisasi permasalahan pembelajaran.

4.     Solusi yang tepat dalam memecahkan masalah pembelajaran.

5.     Penyusunan proposal PTK dan laporan PTK.

6.     Menjawab rumusan masalah dalam PTK.

Program pengabdian pada masyarakat berupa pelatihan pelatihan PTK secara praktis bagi guru di Kecamatan Rancah yang sudah dilaksanakan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, keterampilan dan lebih percaya diri dalam menjalankan profesinya. Guru akan lebih semangat dan termotivasi untuk mengembangkan diri. Hasil pelatihan ini akan bermanfaat bagi sekolah, segala macam permasalahan pembelajaran akan dapat terselesaikan secara ilmiah. Di samping itu dengan adanya pelatihan pelatihan PTK secara ini akan menambah keterampilan guru dalam menyiapkan dan melaksanakan pembelajaran dengan baik didasarkan pada adanya keinginan untuk selalu terus menerus memperbaiki proses pembelajaran, yang pada dasarnya merupakan inti dari PTK.

E.    Pembahasan Hasil Kegiatan

Hasil kegiatan PPM secara garis besar mencakup beberapa komponen sebagai berikut:

1.     Keberhasilan target jumlah peserta pelatihan

2.     Ketercapaian tujuan pelatihan

3.     Ketercapaian target materi yang telah direncanakan

4.     Kemampuan peserta dalam penguasaan materi

Target peserta pelatihan seperti direncanakan sebelumnya adalah paling tidak 30 guru di beberapa MTs di Rancah. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini diikuti oleh 45 orang peserta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa target peserta tercapai 100%. Angka tersebut menunjukkan bahwa kegiatan PPM dilihat dari jumlah peserta yang mengikuti dapat dikatakan berhasil/sukses.

Ketercapaian tujuan pelatihan PTK secara praktis bagi guru secara umum sudah baik, namun keterbatasan waktu yang disediakan mengakibatkan tidak semua materi tentang pelatihan PTK dapat disampaikan secara detil. Namun dilihat dari hasil latihan para peserta yaitu perencanaan PTK, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan kegiatan ini dapat tercapai.

Ketercapaian target materi pada kegiatan PPM ini cukup baik, karena materi pendampingan telah dapat disampaikan secara keseluruhan. Materi pendampingan yang telah disampaikan adalah:

1.     Pengantar PTK

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah penelitian mendasar yang mengkonsentrasikan pada komunitas sekolah/kelas dengan pelibatan guru, kepala sekolah dan akademisi pada semua tahapan penelitian guna memperbaiki praktek kurikulum dan kebijakan (Tytler dan Angwin, 1996). Menurut Niff (1988) penelitian tindakan kelas merupakan suatu pendekatan untuk meningkatkan pendidikan melalui perubahan, dengan cara memotivasi guru untuk lebih peduli terhadap proses pembelajarannya.

Pengertian PTK lainnya didefiniskan oleh Suhadi (1997) bahwa PTK adalah suatu penelitian ilmiah yang ditujukan untuk memecahkan masalah dengan menggunakan keterampilan baru yang diaplikasikan langsung ke dalam situasi kelas.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas:

a.      adalah kegiatan dalam situasi yang bersifat spesifik di dalam kelas dengan tujuan untuk mendiagnosis problem yang bersifat spesifik tersebut disertai upaya konkrit untuk memecahkannya

b.     merupakan tindakan yang dapat dilaksanakan secara mandiri oleh peneliti dan dapat juga dilaksanakan dengan bekerja sama antara praktisi dan peneliti (collaborative research)

c.      suatu penelitian yang lebih menekankan pada partisipasi peneliti “self-evaluative” atau “self-reflective

d.     merupakan penelitian ilmiah dengan melakukan tindakan tertentu dan perlibatan penuh dari pelaku tindakan yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas.

Setiap penelitian memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan penelitian lainnya. Dari beberapa literatur yang terbatas dapat diidentifikasi ada sejumlah karakteristik PTK:

a.      PTK berlingkup mikro

Ruang lingkup PTK pada prinsipnya berskala kecil, yaitu satu attau beberapa kelas di suatu sekolah tertentu

b.     Permasalahan penelitian bersifat kontekstual

Permasalahan penelitian bersifat spesifik dan selalu berkaitan erat dengan kegiatan pembelajaran sehari-hari, tidak dibuat-buat, sehingga tidak perlu perlakuan dan tidak terlalu menghiraukan kerepresentatifan sampel.

c.      PTK memenuhi ketentuan “Here and Now

PTK bertujuan untuk memperbaiki praktis secara langsung, “disini dan sekarang”, sehingga bersifat “up to date”. Karena kekhasan inilah PTK sering disebut juga penelitian praktis

d.     An Inquiry on Practice from Within

Pelaksanaan PTK dipicu oleh adanya permasalahan praktis yang dialami atau dirasakan guru dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Hal ini berarti penelitian dapat terjadi secara berkesinambungan karena cenderung terprakarsai “dari dalam” bukan karena instruksi dari luar. Penelitian lebih didorong oleh tuntutan kebutuhan guru sendiri, baik prestasi maupun prestise

e.      Desain penelitian luwes dan adaptif

Desain PTK dapat dikembangkan selama penelitian berlangsung disesuaikan dengan perkembangan di lapangan (kelas). Namun demikian, fleksibilitas desain ini harus tetap dalam kajian taat kaidah. Semua penyesuaian atau modifikasi dicatat dan dijelaskan sebab-sebab perubahannya, sementara mengumpulkan dan analisis datanya tetap dilakukan secara objektif

f.      Penelitian tidakan dengan penerapan

PTK termasuk penelitian terapan yang melibatkan peneliti secara aktif, dari muali membuat desain penelitian, melakukan perencanaan tindakan, sampai pada penerapannya dengan modifikasi intervensi sesuai dengan perkembangan lapangan (kelas)

g.     Pembuatan jurnal

PTK melibatkan pembuatan jurnal pribadi (buku harian) yang mengandung kemajuan tentang dua bentuk belajar yang paralel, yaitu tentang praktek yang diteliti dan tentang proses penelitiannya

h.     Peneliti berfungsi ganda

PTK berfungsi ganda, yakni (a) peneliti sebagai guru tetap  melaksanakan tugasnya sehari-hari di kelas, dan (b) guru sebagai peneliti dapat melakukan perubahan atau pemecahan masalah guna perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran

i.       Penelitian kolaboratif

Di dalam PTK tampak nyata adanya perlibatan para pelaksana program. Keterlibatan itu terjadi pada semua langkah penelitian, mulai dari identifikasi masalah sampai dengan penyusunan laporan dan desiminasi. Kolaborasi dalam konteks PTK mempunyai makna kerjasama kesejawatan, berbagi kepakaran dan kesederajatan atas dasar ppemahaman terhadap kelebihan masing-masing. Namun demikian, tidak berarti bahwa PTK tidak dapat dilakukan tanpa penelitian kolaboratif. PTK dapat dilakukan secara individual (oleh seorang peneliti) ataupun dalam bentuk tim peneliti.

j.       Langkah penelitian berupa siklus yang sistematis

Pelaksanaan PTK berkembang mulalui self-reflective spiral, yakni suatu daur ulang dengan urutan: perencanaan (planning), pelaksanaan tindakan (acting), pengamatan (observing) dan refleksi (reflecting)

Menurut Mc Niff (1988) tujuan dilaksanakannya PTK adalah untuk perbaikan. Selanjutnya, lebih luas dijelaskan Tim PGSM (1999), bahwa tujuan PTK adalah untuk perbaikan dan peningkatan layanan profesional guru dalam menangani proses pembelajaran. Tujuan tersebut secara spesifik dijabarkan menjadi tiga tujuan khusus, yakni untuk:

a. perbaikan dan peningkatan layanan profesional guru.

b. pengembangan keterampilan guru, dan

c. menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru.

Cohen dan Manion (1980) menyebutkan sekurang-kurangnya ada lima fungsi penelitian tindakan, yaitu sebagai alat: (1) untuk memecahkan masalah yang dilakukan dalam situasi tertentu, (2) pelatihan dalam jabatan, sehingga melatih partisipan (guru) dengan kemampuan dan keterampilan melaksanakan metode dan teknik mengajar yang baru, serta mempertinggi kesadaran atas kekurangan dan kelebihan pada dirinya, (3) untuk mengenal pendekatan tambahan pada pengajaran, (4) untuk meningkatkan komunikasi aantara guru dan para akademisi di lapangan dalam penelitian kolaborasi, (5) untuk menyediakan alternatif yang lebih baik dalam pemecahan masalah di dalan kelas.

Walaupun pelaksanaan PTK pada prinsipnya adalah kelas, sesungguhnya permasalahan tidak dilihat terbatas dalam kkonteks kelas ataupun mata pelajaran tertentu. Tetapi hendaknya dilihat dalam lingkup misi sekolah secara keseluruhan. Lingkup yang lebih luas ini akan lebih terasa kepentingannya, bilamana pelaku PTK lebih dari satu orang guru. Kondisi yang demikian ini memungkinkan PTK diselenggarakan secara formal dan taat kaidah. Sehingga hasilnya dapat lebih dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Stephen Kemmis telah mengembangkan sebuah model siklus alami sederhana  yang dapat menggambarkan proses penelitian tindakan kelas  (gambar 1).  Setiap siklus memiliki empat tahap : perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi.

Figure 1 Simple Action Research Model

Sejalan dengan gambar di atas, seperti dengan penelitian-penelitian yang biasa, langkah pertama dalam merencanakan suatu PTK adalah penentuan dan perumusan masalah. Mengingat bahwa tujuan utama dari PTK adalah untuk perbaikan dan peningkatan pelayanan profesional guru dalam bidang pembelajaran di sekolah, masalah-masalah harus berasal dari masalah-masalah yang dihadapi guru dalam proses pembelajaran yang direfleksikan dari pengalaman yang diperoleh dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya, khususnya dalam pembentukan pemahaman yang mendalam (deep understanding) oleh peserta didik dan bukan terinformasikannya (content coverage) bahan pelajaran kepada peserta didik. Atas dasar ini penampilan permasalahan penelitian yang sekedar terinformasikannya bahan ajar yang terdapat dalam kurikulum atau silabus perlu ditolak. Refleksi yang dilakukan guru ini akan menimbulkan kesadaran akan adanya permasalahan yang dirasakan mengganggu atau menghalangi pencapaian kompetensi peserta didik dan ia sendiri perlu memiliki komitmen terhadap pemecahannya.

Penelitian Tindakan Kelas diawali dengan perumusan masalah yang dikenal sebagai pra-refleksi (initial reflection). Masalah tersebut dapat berasal dari keadaan kelas secara umum, atau lebih khusus masalah kelas tempat kita mengajar. Perumusan masalah dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pertanyaan untuk membimbing penelitian, misalnya:

a.       Apakah yang dapat dilakukan terhadap kajian “X” agar siswa lebih mudah memahaminya?

b.     Strategi belajar apa yang dilakukan oleh siswa-siswa pandai dalam belajar bahasa Indonesia?

Setelah kita membuat identifikasi masalah, langkah selanjutnya adalah melaksanakan:

a.      Perencanaan (Planning)

Hal yang sangat penting dari tahap perencanaan adalah rincian operasional mengenai tindakan yang ingin dikerjakan atau perubahan yang akan dilakukan. Alternatif tindakan untuk perbaikan pembelajaran dapat dipandang sebagai hipotesis. Hipotesis dalam PTK merupakan tindakan yang diduga dapat memecahkan masalah pembelajaran. Mengingat sifat dari hipotesis dalam PTK ini, maka bentuk perumusannya akan berbeda dengan bentuk perumusan yang digunakan dalam penelitian biasa (umum).

Dugaan keberhasilan tindakan dalam pemecahan masalah tidak dapat terlepas dari pengalaman mengajar guru (refleksi dari pengalamannya sendiri), kajian teoretik dalam bidang pembelajaran, kajian terhadap hasil-hasil penelitian yang relevan, dan kajian terhadap saran dan pendapat dari pakar pendidikan. Refleksi dan kajian-kajian di atas merupakan landasan yang kuat dalam membangun hipotesis dalam PTK. Alternatif hipotesis yang telah dirumuskan perlu dinilai dan dipilih mana yang paling menjanjikan hasil yang optimal tetapi masih berada dalam konteks lingkungan sekolah dan fasilitas pendukungnya, kemampuan guru untuk mengelolanya, dan kemampuan rata-rata peserta didik yang menyerapnya. Di samping itu mungkin juga perlu menyiapkan kuesioner atau alat pengumpul informasi yang akan digunakan. Misalnya, diputuskan mengumpulkan keterangan dari dua siswa pandai dalam belajar bahasa Indonesia dengan cara berikut:

1)     Pengamatan di kelas selama satu semester

2)     Catatan harian anak, dan

3)     Wawancara

4)     Tindakan (Action)

Tindakan merupakan tahapan pelaksanaan dari perencanaan. Dalam pelaksanaan PTK implementasi tindakan pembelajaran, observasi proses dan hasil tindakan merupakan satu kesatuan. Keduanya harus dilakukan serentak dengan tingkat kesadaran yang tinggi dari ketua dan anggota penelitian tindakan kelas. Hopkins (1993) menyatakan bahwa pemaparan hasil observasi tindakan pembelajaran hendaknya tidak dipandang hanya dalam konteks PTK saja tetapi juga dalam konteks pengembangan kemampuan guru. Karena itu dalam pemaparan hasil observasi dan tindakan-tindakan selanjutnya perlu diikutsertakan kepala sekolah dan pengawas/penilik sekolah sebagai pelaksana fungsional. Jangan heran bila rencana-rencana tidak terlaksana seperti yang diharapkan. Tidak perlu ragu untuk melakukan belokan-belokan kecil (modifikasi) dari yang telah direncanakan. Catatlah perubahan-perubahan kecil yang dilakukan tersebut dan beri alasan mengapa terjadi perubahan

b.     Pengamatan (Observation)

Observasi pada dasarnya adalah upaya merekam segala peristiwa selama kegiatan tindakan perbaikan berlangsung. Dalam PTK, yang lebih penting lagi adalah interpretasi dari data hasil observasi. Interpretasi perlu dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan observasi seperti yang terjadi pada saat guru mengambil keputusan pada saat pembelajaran di kelas berlangsung. Ini jelas berbeda dengan observasi yang dilakukan dalam penelitian biasa (umum) dan sama dengan observasi yang dilakukan dalam penelitian kualitatif. Dalam tahapan observasi, dilakukan pengamatan secara rinci dan teliti, lakukan pencatatan bila perlu perekaman. Misalnya, dalam catatan kita diantaranya tertulis, siswa menggunakan berbagai strategi dalam belajar bahasa Indonesia dengan cara:

1)     membaca bahan kajian tertentu dengan cepat

2)     menulis konsep-konsep penting dengan kata-kata sendiri, dan

3)     membaca berulang-ulang catatan konsep-konsep penting yang ditulisnya.

c.      Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan tahap akhir dari suatu daur penelitian tindakan kelas. Refleksi adakah kajian atau analisis mengenai hal-hal yang sudah dilakukan pada tahap sebelumnya. Refleksi hasil analisis atau pengolahan data, merupakan upaya untuk mengkaji apa yang telah terjadi dan apa yang belum terjadi, apa yang telah dicapai dan apa yang belum dapat dicapai, apa yang telah berhasil dan apa yang belum berhasil dilaksanakan dalam tindakan perbaikan pembelajaran. Hasil refleksi digunakan untuk menetapkan langkah-langkah lebih lanjut yang mungkin dalam perbaikan dalam tindakan perbaikan pembelajaran diterapkan untuk mencapai tujuan antara atau tujuan sementara.

Refleksi meliputi kegiatan mengkaji hasil analisis, pemaknaan hasil analisis, memberikan penjelasan, dan menyusun kesimpulan serta identifikasi kegiatan tindak lanjut dalam kerangka pikir perbaikan tindakan perbaikan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Dilihat dari urutannya kelihatannya sangat logis bahwa refleksi berlangsung secara linier. Tetapi pada kenyataannya tidak. Sebagai contoh, bila kita telah pada posisi menetapkan tindak lanjut, ada kalanya peneliti kembali merujuk pada pemaknaan gambaran apa yang telah terjadi pada pelaksanaan tindakan sebelumnya dan merenungkan kembali pada kekuatan dan kelemahan dan perkiraan keberhasilan dengan memperhitungkan kendala-kendala yang mungkin dihadapi. Selain itu, keputusan untuk menerapkan tindak lanjut perbaikan pembelajaran, juga perlu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dampak samping yang tidak diperkirakan sebelumnya. Refleksi dan tindakan lanjut itu perlu dilakukan secara kolaboratif. Seberapa efektif perubahan yang terjadi? Apa yang dipelajari? Adakah yang menjadi penghambat perubahan? Bagaimana memperbaiki perubahan-perubahan yang dibuat? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat membawa kita pada daur penelitian tindakan kelas berikutnya.

Setelah melakukan refleksi biasanya muncul permasalahan atau pemikiran baru, sehingga merasa perlu melakukan perencanaan ulang, tindakan ulang, pengamatan ulang, dan refleksi ulang. Demikian tahapan kegiatan terus berulang, sehingga membentuk siklus yang kedua, ketiga, dan seterusnya sampai suau permasalahan dianggap teratasi.

2.     Teori pembelajaran

Belajar merupakan kegiatan berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap jenjang pendidikan. Dalam keseluruhan proses pendidikan,  kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok dan penting dalam keseluruhan proses pendidikan.

Belajar adalah proses atau usaha yang dilakukan tiap individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku baik dalam bentuk pengetahuan, keterampilan maupun sikap dan nilai yang positif sebagai pengalaman untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari. Kegiatan belajar tersebut ada yang dilakukan di sekolah, di rumah, dan di tempat lain seperti di museum, di laboratorium, di hutan dan dimana saja. Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri dan akan menjadi penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar.

Menurut Vernon S. Gerlach & Donal P. Ely dalam bukunya teaching & Media-A systematic Approach (1971) dalam Arsyad (2011: 3) mengemukakan bahwa “belajar adalah perubahan perilaku, sedangkan perilaku itu adalah tindakan yang dapat diamati. Dengan kata lain perilaku adalah suatu tindakan yang dapat diamati atau hasil yang diakibatkan oleh tindakan atau beberapa tindakan yang dapat diamati”.

Sedangkan Menurut Gagne dalam Whandi (2007) belajar di definisikan sebagai “suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman”. Slameto (2003: 5) menyatakan belajar adalah “suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh  suatu perubahan tingkah laku  yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. 

Lebih lanjut Abdillah (2002) dalam Aunurrahman (2010 :35) menyimpulkan bahwa “belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu”.

Dengan demikian dapat disimpulkan Belajar adalah perubahan tingkah laku pada individu-individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak, penyesuaian diri. Jadi, dapat dikatakan bahwa belajar itu sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga yang menuju perkembangan pribadi manusia seutuhnya.

Pembelajaran mengandung makna adanya kegiatan mengajar dan belajar, di mana pihak yang mengajar adalah guru dan yang belajar adalah siswa yang berorientasi pada kegiatan mengajarkan materi yang berorientasi pada pengembangan pengetahuan, sikap, dan keterampilan siswa sebagai sasaran pembelajaran. Dalam proses pembelajaran akan mencakup berbagai komponen lainnya, seperti media, kurikulum, dan fasilitas pembelajaran. 

Darsono (2002: 24-25) secara umum menjelaskan pengertian pembelajaran sebagai “suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa sehingga tingkah laku siswa berubah kearah yang lebih baik”. Sedangkan secara khusus pembelajaran dapat diartikan sebagai berikut : 
Teori Behavioristik, mendefinisikan pembelajaran sebagai usaha guru membentuk tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan lingkungan (stimulus). Agar terjadi hubungan stimulus dan respon (tingkah laku yang diinginkan) perlu latihan, dan setiap latihan yang berhasil harus diberi hadiah dan atau reinforcement (penguatan).

Teori Kognitif, menjelaskan pengertian pembelajaran sebagai cara guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berfikir agar dapat mengenal dan memahami apa yang sedang dipelajari.

Teori Gestalt, menguraikan bahwa pembelajaran merupakan usaha guru untuk memberikan materi pembelajaran sedemikian rupa, sehingga siswa lebih mudah mengorganisirnya (mengaturnya) menjadi suatu gestalt (pola bermakna).
Teori Humanistik, menjelaskan bahwa pembelajaran adalah memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih bahan pelajaran dan cara mempelajarinya sesuai dengan minat dan kemampuannya.

Arikunto (1993: 12) mengemukakan “pembelajaran adalah suatu kegiatan yang mengandung terjadinya proses penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap oleh subjek yang sedang belajar”. Lebih lanjut Arikunto (1993: 4) mengemukakan bahwa “pembelajaran adalah bantuan pendidikan kepada anak didik agar mencapai kedewasaan di bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap”. 

Sedangkan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa “pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.
Dari berbagai pendapat pengertian pembelajaran di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses kegiatan yang memungkinkan guru dapat mengajar dan siswa dapat menerima materi pelajaran yang diajarkan oleh guru secara sistematik dan saling mempengaruhi dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang diinginkan pada suatu lingkungan belajar.

Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan. Pesan, sumber pesan, saluran/ media dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses komunikasi. Proses yang akan dikomunikasikan adalah isi ajaran ataupun didikan yang ada dalam kurikulum,  sumber pesannya bisa guru, siswa, orang lain ataupun penulis buku dan media.
Demikian pula kunci pokok pembelajaran ada pada guru (pengajar), tetapi bukan berarti dalam proses pembelajaran hanya guru yang aktif sedang siswa pasif. Pembelajaran menuntut keaktifan kedua belah pihak yang sama-sama menjadi subjek pembelajaran. Jadi, jika pembelajaran ditandai oleh keaktifan guru sedangkan siswa hanya pasif, maka pada hakikatnya kegiatan itu hanya disebut mengajar. Demikian pula bila pembelajaran di mana siswa yang aktif tanpa melibatkan keaktifan guru untuk mengelolanya secara baik dan terarah, maka hanya disebut belajar. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran menuntut keaktifan guru dan siswa.

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat  terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Proses  pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda.

Pembelajaran adalah pemberdayaan potensi peserta di dik menjadi kompetensi. Kegiatan pemberdayaan ini tidak dapat berhasil tanpa ada orang yang membantu. Menurut  Dimyati dan Mudjiono (Syaiful Sagala, 2011: 62) pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.

Dalam Undang-Undang No.  20 Tahun 2003  Tentang Sistem Pendidikan Nasional  pasal  1 ayat 20  dinyatakan bahwa  Pembelajaran adalah Proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber  belajar pada suatu lingkungan belajar.

Konsep pembelajaran menurut Corey (Syaiful  Sagala, 2011:  61) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan. Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademisnya, latar belakang ekonominya, dan lain sebagainya.kesiapan guru untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran.

Dapat  ditarik kesimpulan bahwa Pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relative lama dan karena adanya usaha.

Interaksi merupakan ciri utama dari kegiatan pembelajaran, baik antara yang belajar dengan lingkungan belajarnya, baik itu guru, teman-temannya, tutor, media pembelajaran, atau sumber-sumber belajar yang lain. Ciri lain dari pembelajaran adalah yang berhubungan dengan komponen-komponen pembelajaran. Sumiati dan Asra (2009: 3) mengelompokkan komponen-komponen pembelajaran dalam tiga kategori utama, yaitu: guru, isi atau materi pembelajaran, dan siswa. Interaksi antara tiga komponen utama melibatkan metode pembelajaran, media pembelajaran, dan penataan lingkungan tempat belajar, sehingga tercipta situasi pembelajaran yang memungkinkan terci ptanya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya.

Tujuan pembelajaran pada dasarnya merupakan harapan, yaitu apa yang diharapkan dari siswa sebagai hasil belajar. Robert F. Meager (Sumiati dan Asra, 2009: 10) memberi batasan yang lebih jelas tentang tujuan pembelajaran, yaitu maksud yang dikomunikasikan melalui peenyataan yang menggambarkan tentang perubahan yang diharapkan dari siswa.

Menurut  H.  Daryanto (2005: 58)  tujuan pembelajaran adalah tujuan yang menggambarkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan sikap yang harus dimiliki siswa sebagai akibat dari hasil pembelajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku yang dapat diamati dan diukur.  B.  Suryosubroto  (1990: 23) menegaskan bahwa tujuan pembelajaran adalah rumusan secara terperinci apa saja yang harus dikuasai oleh siswa sesudah ia melewati kegiatan pembelajaran yang bersangkutan dengan berhasil. Tujuan pembelajaran memang perlu dirumuskan dengan jelas, karena perumusan tujuan yang jelas dapat digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan dari proses pembelajaran itu sendiri.

Lingkup umum dalam pembelajaran paling tidak terdiri atas tiga bagian setelah merumuskan tujuan. Yakni; Perencanaan, Pelaksanaan, dan Penilaian atau Evaluasi. PTK dalam hal ini meliputi ketiganya. Sebab PTK merupakan penelitian yang menitikberatkan pada pembelajaran dalam menyelesaikan permasalahan. Pada akhirnya, kita sama sama memahami PTK dan Pembelajaran tidak dapat dipisahkan.

3.     Operasionalisasi permasalahan pembelajaran dan solusinya

Permasalahan pembelajaran paling tidak meliputi dua hal. Permasalahan pertama yang berkaitan dengan proses pembelajaran dan yang kedua  berkaitan dengan hasil pembelajaran. Walaupun pada dasarnya PTK menitikberatkan proses pembelajaran pada perbaikannya, namun karakteristik permasalahan di atas berbeda.

Permasalahan proses pembelajaran biasanya lahir atas dasar keindividualismean peserta didik dalam belajar. Sehingga terjadi ketimpangan dalam pemerolehan materi ajar yang  berdampak pada pencapaian hasil pembelajaran. Biasanya permasalahan ini terindikasi jika dibenturkan dengan hakikat pendidikan karakter yang di dalamnya memuat nilai kerja sama sebagai salah satu kearifan lokal budaya bangsa Indonesia. Bukan berarti kerja sama ini muncul pada saat tes evaluasi pembelajaran. Solusi yang tepat pada permasalahan ini biasanya menggunakan pembelajaran yang bersifat kooperatif. Pembelajaran kooperatif yang memang bertumpu pada aspek kerja sama dalam pencapaian hasil belajar merupakan solusi tepat yang digunakan untuk memecahkan masalah keindividualismean peserta didik dalam  belajar. Artinya, ada sebuah penekanan yang dilakukan guru sebagai peneliti kepada siswa agar semua siswa mau melakukan kerja sama dan melakukan transfer pemerolehan materi ajar pada kelompoknya. Hal ini  biasanya memiliki nilai-nilai kemasyarakatan yang perlu ditumbuhkembangkan dalam diri peserta didik sebagai calon masyarakat.

Permasalahan kedua permaslahan yang berkaitan dengan perolehan hasil belajar. Hal ini merupakan permasalahan yang sering muncul dalam PTK. Biasanya permasalahan ini berintikan pada pencapapaian nilai akhir belajar yang belum mencapai tingkat tertentu, biasanya menggunakan istilah KKM. Atau paling tidak belum semuanya atau mayoritas peserta didik atau siswa belum mencapai KKM. Permasalahan ini biasanya berkembang seputar aspek keterpahaman individu peserta didik dalam memahami materi ajar. Atau dalam bahasa singkatnya disebut dengan kreativitas siswa dalam mengolah informasi materi ajar. Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan menerapkan model pembelajaran yang bersifat menekankan pembelajaran pada pemecahan masalah secara kreatif atau sinektika. Dengan pola pembelajaran sinektika kreativitas siswa akan tergali dan pada akhirnya mereka dapat menyelesaikan permasalahan belajarnya.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat kita pahami paling tidak dalam memahami permasalahan dalam pembelajaran, kita harus memahami secara mendalam apa yang menjadi akar masalah pembelajaran tersebut. Sehingga ketika akan menentukan solusi pembelajaran kita sudah memahami solusi apa yang akan kita gunakan dalam memecahkan masalah pembelajaran tersebut. Analogi yang sering digunakan dalam pemahaman tersebut ialah, obat mana yang paling tepat dalam pengobatan penyakit tertentu. Obat merupakan analogi terhadap solusi dan penyakit merupakan analogi permasalahan pembelajaran.

Kemampuan peserta dilihat dari penguasaan materi masih kurang dikarenakan waktu yang singkat dalam penyampaian materi dan kemampuan para peserta yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan jumlah materi yang banyak hanya disampaikan dalam waktu sehari sehingga tidak cukup waktu bagi para peserta untuk memahami dan mempraktikkan secara lengkap semua materi yang diberikan. Secara keseluruhan kegiatan pelatihan PTK untuk mempercepat guru memperoleh sertifikasi ini dapat dikatakan berhasil. Keberhasilan ini selain diukur dari keempat komponen di atas, juga dapat dilihat dari kepuasan peserta setelah mengikuti kegiatan. Manfaat yang diperoleh guru adalah dapat menyusun dan melaksanakan PTK dengan kualitas yang lebih baik dan diharapkan kualitas tersebut sudah mengikuti standar untuk dapat dipakai sebagai poin dalam penilaian portofolio sertifikasi guru.

F.    Kesimpulan

Program pelatihan PTK bagi guru di Rancah dapat diselenggarakan dengan baik dan berjalan dengan lancar sesuai dengan rencana kegiatan yang telah disusun meskipun belum semua peserta pendampingan menguasai dengan baik materi yang disampaikan. Kegiatan ini mendapat sambutan sangat baik terbukti dengan keaktifan peserta  mengikuti pendampingan dengan tidak meninggalkan tempat sebelum waktu pelatihan berakhir.

G.    Rekomendasi

Berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Waktu pelaksanaan kegiatan pengabdian perlu ditambah agar tujuan kegiatan dapat tercapai sepenuhnya, tetapi dengan konsekuensi penambahan biaya pelaksanaan. Oleh karena itu biaya PPM sebaiknya tidak sama antara beberapa tim pengusul proposal, mengingat khalayak sasaran yang berbeda pula.

2.  Adanya kegiatan lanjutan yang berupa pelatihan sejenis selalu diselenggarakan secara periodik sehinga dapat meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar.

3.     Untuk menguatkan hasil pengabdian periode tahun 2013/2014, maka perlu dilaksanakan kegiatan pengabdian yang lebih menyasar pada pengkajian dan pelatihan pembelajaran. Mengingat pembelajaran merupakan “nafas” dari PTK dan mempunyai peran penting dalam meningkatkan kualitas hasil pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA 

Arikunto, Suharsimi. (2007) Penelitian Tindakan Kelas . Jakarta: Bumi Aksara.

 Depdikbud. (1997) Action Research: Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Depdikbud.

 Ibnu, Suhadi. (1997). Penelitian Tindakan Kelas: Potensi dan Keterbatasannya sebagai Wahana Pemecah Masalah Pembelajaran, Forum Penelitian Kependidikan: Jurnal Teori dan Praktik Peneltian Kependidikan IKIP Malang, tahun 9-Desember, hal. 16 – 30.

 Kadir, Sardjan. (1997). Penelitian Tindakan untuk Pendidikan, Forum Penelitian Kependidikan: Jurnal Teori dan Praktik Penelitian Kependidikan IKIP Malang.

 Madya, Suarsih. (2006) Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Alfa Beta.

 Suriatmadja. (2007) Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Rosda Karya

Tim Pelatih PGSM. (1999). Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research): Bahan Pelatihan Guru. Jakarta: Proyek PGSM Dirjen Dikti Depdikbud.